Sabtu, 30 April 2011

BANGUNAN CAGAR BUDAYA


Menurut UU no. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, yang dimaksud dengan benda cagar budaya adalah : (dalam Bab 1 pasal 1)
  1. Benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak, yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagian atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 tahun atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 tahun , serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan;
  2. Benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
Jadi, Bangunan Cagar Budaya sendiri dapat memiliki arti sebagai suatu bangunan yang berupa kesatuan atau kelompok yang dianggap memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, maupun kebudayaan.
Berdasar Perda No. 9 Tahun 1999 tentang Pelestarian dan Pemanfaatan Lingkungan dan Cagar Budaya, bangunan cagar budaya dari segi arsitektur maupun sejarahnya dibagi dalam 3 (tiga) golongan, yaitu :
  • Pemugaran Bangunan Cagar Budaya Golongan A
  • Pemugaran Bangunan Cagar Budaya Golongan B
  • Pemugaran Bangunan Cagar Budaya Golongan C

Pemugaran Bangunan Cagar Budaya Golongan A 
  1. Bangunan dilarang dibongkar dan atau diubah.
  2. Apabila kondisi fisik bangunan buruk, roboh, terbakar atau tidak layak tegak dapat dilakukan pembongkaran untuk dibangun kembali sama seperti semula sesuai dengan aslinya.
  3. Pemeliharaan dan perawatan bangunan harus menggunakan bahan yang sama/sejenis atau memiliki karakter yang sama, dengan mempertahankan detail ornamen bangunan yang telah ada.
  4. Dalam upaya revitalisasi dimungkinkan adanya penyesuaian/perubahan fungsi sesuai rencana kota yang berlaku tanpa mengubah bentuk bangunan aslinya.
  5. Di dalam persil atau lahan bangunan cagar budaya dimungkinkan adanya bangunan tambahan yang menjadi satu kesatuan yang utuh dengan bangunan utama.   
Contohnya : “Gedung Merdeka, Bandung”

Gambar 1. Gedung Merdeka
( sumber : www.google.com )


Gedung Merdeka adalah gedung yang pernah digunakan sebagai tempat Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika tahun 1955. Pada saat ini digunakan sebagai museum. Bangunan ini dirancang oleh Van Galen Last dan C.P. Wolff Schoemaker. Keduanya adalah Guru Besar pada Technische Hogeschool (Sekolah Teknik Tinggi), yaitu ITB sekarang, dua arsitektur Belanda yang terkenal pada masa itu. Gedung ini kental sekali dengan nuansa art deco. Gedung ini menempati areal seluas 7.500 m2. Pada saat itu bangunan ini bernama SOCIËTEIT CONCORDIA dipergunakan sebagai tempat rekreasi oleh sekelompok masyarakat Belanda yang berdomisili di kota Bandung dan sekitarnya. Mereka adalah para pegawai perkebunan, perwira, pembesar, pengusaha, dan kalangan lain yang cukup kaya. Meskipun fungsi Gedung Merdeka berubah-ubah dari waktu ke waktu sejalan dengan perubahan yang dialami dalam perjuangan mempertahankan, menata, dan mengisi kemerdekaan Republik Indonesia , nama Gedung Merdeka tetap terpancang pada bagian muka gedung tersebut. Pada tahun 1965 di Gedung Merdeka dilangsungkan Konferensi Islam Asia Afrika. Pada Maret 1980 Gedung ini kembali dipercayakan menjadi tempat peringatan Konferensi Asia Afrika yang ke-25 dan pada Puncak peringatannya diresmikan Museum Konferensi Asia Afrika oleh Soeharto, Presiden Republik Indonesia ke-2.


Pemugaran Bangunan Cagar Budaya Golongan B
  1. Bangunan dilarang dibongkar secara sengaja, dan apabila kondisi fisik bangunan buruk, roboh, terbakar atau tidak layak tegak dapat dilakukan pembongkaran untuk dibangun kembali sama seperti semula sesuai dengan aslinya.
  2. Pemeliharan dan perawatan bangunan harus dilakukan tanpa mengubah pola tampak depan, atap, dan warna, serta dengan mempertahankan detail dan ornament bangunan yang penting.
  3. Dalam upaya rehabilitasi dan revitalisasi dimungkinkan adanya perubahan tata ruang dalam asalkan tidak mengubah struktur utama bangunan
  4. Di dalam persil atau lahan bangunan cagar budaya dimungkinkan adanya bangunan tambahan yang menjadi satu kesatuan yang utuh dengan bangunan utama. 

Contohnya : “Gedung Dwi Warna, Bandung”

Gambar 2. Gedung Dwi Warna
( sumber : www.google.com )

Gedung Dwi Warna adalah suatu bangunan bersejarah di Kota Bandung, Jawa Barat, yang dipergunakan sebagai tempat rapat komisi pada Konferensi Asia Afrika (1955). Gedung ini pernah menjadi Gedung DPRD Jawa Barat dan gedung Sekretariat KAA tahun 1955. Seusai KAA, bangunan ini dijadikan sebagai Kantor Pusat Pensiunan dan Pegawai, lalu Kantor Pusat Administrasi Belanja Pegawai yang namanya Subdirektorat Pengumpulan Data Seluruh Indonesia. Kini, gedung tersebut dipergunakan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan Departemen Keuangan Republik Indonesia Kantor Wilayah XII Bandung.
Gedung tersebut dibangun pada tahun 1940 di bawah pengawasan “Technische Dienst voor Stadsgemeente Bandoeng” dan diperuntukkan sebagai tempat dana pensiun seluruh Indonesia, dengan nama Gedung Dana Pensiun. Selain menjadi tempat sekretariat konferensi, sebagian lahan di gedung tersebut juga dipergunakan para delegasi untuk bersidang (bersama dengan Gedung Concordia). Komisi Politik, Komisi Ekonomi, dan Komisi Kebudayaan bermusyawarah di gedung tersebut. Soekarno meresmikan penggantian nama Gedung Concordia menjadi Gedung Merdeka dan Gedung Dana Pensiun menjadi Gedung Dwi Warna pada waktu memeriksa persiapan terakhir di Bandung pada tanggal 17 April 1955.

Pemugaran Bangunan Cagar Budaya Golongan C
  1. Perubahan bangunan dapat dilakukan dengan tetap mempertahankan pola tampak muka, arsitektur utama dan bentuk atap bangunan.
  2. Detail ornamen dan bahan bangunan disesuaikan dengan arsitektur bangunan disekitarnya dalam keserasian lingkungan.
  3. Penambahan Bangunan di dalam perpetakan atau persil hanya dapat dilakukan di belakang bangunan cagar budaya yang harus sesuai dengan arsitektur bangunan cagar budaya dalam keserasian lingkungan.
  4.   Fungsi bangunan dapat diubah sesuai dengan rencana kota.   

Contohnya : “Hotel Savoy Homann, Bandung”

Gambar 3. Hotel Savoy Homann
( sumber : www.google.com )

Hotel yang dahulunya terletak di Jalan Raya Pos ini, sekarang menjadi Jalan Asia Afrika no. 61, memiliki nama yang diambil berasal dari pendiri hotel, yaitu Mr. A. Homann, seseorang berkebangsaan Jerman yang membuka hotel tersebut pada tahun 1871 – 1872. Pada saat dibangun memiliki ciri khas Arsitektur Baroq.
Pertama kali direnovasi pada tahun 1883 dengan gaya Arsitektur Gothic Revial. Pada tahun 1938 pemilik barunya yaitu Van Es meminta Aalbers seorang arsitek untuk mendesain ulang bangunan hotel ini dengan gaya modern fungsional art deco geometric. Hotel ini menjadi salah satu hotel terbesar di Asia Tenggara pada saat itu. Hotel ini sempat beberapa kali berpindah tangan dan fungsi. Hotel Savoy Homann pun menjadi tempat persinggahan peristirahatan para pemimpin Negara Asia dan Afrika yang tengah melaksanakan Konperensi Asia Afrika di tahun 1955 dan perayaan peringatan 50 tahun KAA 2005.

KRITERIA DAN TOLAK UKUR BANGUNAN PEMUGARAN



Seorang arsitek sangat berperan dalam usaha melestarikan bangunan-bangunan bersejarah atau bangunan yang merupakan warisan budaya bangsa ini. Selain itu, sosialisasi terhadap masyarakat terutama yang berdomisili di sekitar lokasi juga sangat penting. Masyarakat harus disadarkan akan pentingnya bangunan-bangunan bersejarah yang ada sehingga mereka dapat turut membantu memelihara lingkungan sekitar bangunan tersebut. Pemahaman yang dalam akan nilai sejarah sebuah bangunan akan membantu masyarakat untuk meningkatkan kesadaraannya terhadap nilai-nilai historis suatu bangunan atau suatu wilayah sehingga masyarakat bersama-sama pemerintah dapat menjaga dan memelihara warisan bangsa.

Sumber :







Tidak ada komentar:

Posting Komentar